Disini masih menyisakan udara dingin, ahh..sebenarnya bukan udaranya
yang dingin, tapi badanku yang sedikit meriang setelah terguyur oleh
panasnya matahari seharian tadi. Aku masih membenamkan kepala di depan
monitor 19 inch, sambil memencet-mencet keyboard laptop didepanku. Lirik
lagu Forever and One-nya Hallowen masih memantul di dalam kamar yang
sebenarnya lebih mirip kamp pengungsi banjir. Jaket dan buu serta kertas
pasrah berserakan di lantai. Enggan, penat dan capek. Itulah yang aku
rasakan, bahkan untuk sekedar mengangkat kepala. Buku-buku karya
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Setia Furqon Khalid hingga Kahlil Gibran
setia berjongkok di sisi tempat tidurku.
Sepi..Senyap..
Uurrghh,,aku
membalikkan badan ke jendela kamar yang memberikan pemandangan dini
hari yang indah. Lihatlah jutaan bintang tenggelam di angkasa
bertahtakan mahkota sang rembulan. MAsih mencoba memejamkan mata sambil
mencerna lagunya Sergio Mendez, Never Gonna Let You go.
Entahlah
jam mangantarkan jarumnya ke arah angka berapa. Aku masih terpaku di
sudut kota yang sepi ini. Masih tetap diam membisu. Sekilas nampak
sajadah yang masih tergelar bekas sholat tadi. Waktu masih dan akan
terus berputar, yang akan menggiringku ke dalam mesin waktu. 21 tahun
lalu seorang bayi terlahir dari rahim seorang ibu yang suci. 21 tahun
lalu tangis sang bayi mampu menggetarkan relung hati sang ibu, yang
sayang sekali tidak ditemani sang ayah. Seiring tangis membuncah, sebuah
do'a tulus terkirim ke langit agar kelak sang anak mampu menerangi
dunia dengan keindahan hatinya, sebuah do'a yang hingga kini masih
menggantung disendi-sendi hatiku. Aku masih terdiam, sia-sia aku mencoba
menghentikan putaran alam.
Perlahan aku menuju kamar
mandi untuk mengambil wudhu, dingin memberkas wajahku. Sedikit segar
kurasa, pori-pori kulitku menjadi terkembang. Kembali dari kamar mandi
aku menyempatkan diri keluar sejenak, sekedar untuk melihat kehidupan
kota ini. Masih seperti kunang-kunang, lamou yang lelah berpendar,
pertanda bahwa penghuninya sedang terlelap dalam mimpi yang semoga
indah.
Berdiri diatas sajadah yang sudah lama tergelar
menghadap kiblat. Perlahan, walau berat aku mencoba meluruskan niat
untuk menghadap padaNya. Agak ragu ketika tangan ini hendak mengangkat
takbir padaNya. Rasanya seperti anak kecil yang nakal yang minggat dari
rumah, dan kini karena suatu keterpaksaan akhirnya mencoba kembali ke
rumah indahnya. Beribu rasa berkecamuk dalam dada yang rasanya Kyan
mengkerdil. Adakah pemilik rumah akan menyambutnya dengan hangat setelah
ia menafikanNya?? Akankah pemilik rumah justru mengusirnya dan kembali
membiarkannya terlunta?? Namun, sang bocah tidak punya pilihan lain
kecuali mencoba kembali ke rumah itu karena diluar sana tidak ada
kedamaian dan ketenangan yang dapat dirsakan sebagaimana terdapat di
dalam rumah itu.
Diluar sana banyak tersaji gemerlap
cahaya yang hampa. Sinarnya tidak menenangkan, tapi justru membuat silau
dan gelap mata. Ia rindu lampu temaram yang yang teduh yang ada di
dalam rumah itu. Ia rindu nyanyian kidung hati yang mencinta. Pokoknya
ira rindu utnuk kembali ke dalam rumah itu, walau menanggung rasa malu
yang amat sangat. Dulu dengan pongah, ia melenggang keluar dari rumah
itu dan berkacak sombong bahwa dunia di luar sanalah yang hakiki,
kehidupan yang sebenarnya, Ia bosan dengan rumah yang hening dan sepi,
ia bosan terkungkung dalam aturan, ia menentang semuanya. Namun
lihatlah! Waktu memang hakim sejati, ia dapat membuktikan tanpa berkata,
mampu menunjukkan tanpa memerintah. Waktulah yang kemudian membalikkan
keadaan pad apa yang sebenarnya.
Aku masih terdiam dalam
posisi sholatku, mencoba berkonsentrasi penuh agar dapat berdialog
denganNya. Satu rrekaat, dua rekaat, tiga empat rekaat terlewat. Sepi.
Hampa. Tidak ada yang membekas dalam hati. Apakah ini sebuah penolakan
halus dari Sang Pemilik rumah?? Gerakan-gerakan sholat hanya menjadi
ritual tanpa arti. Aku sedih dan kecewa. Aku mengharapkan perjumpaan
yang indah, namun ternyata rasa kosong yang menyergap. Tidak ada getar
yang kurasakan. Aku mencoba mengulang, mengulang dan terus mengulang
dengan harapan akan muncul momentum yang indah, namun memang tak semudah
itu. yang ada hanya ritual tanpa makna. Aku terdiam, makin membisu.
Bingung.
Tidak seperti yang aku bayangkan dari penjelasan
berbagai buku. Sang Pemilik Rumah ramah menjemput sang tamuNya yang
telah lama pergi, Justru aku diam membisu seperti di depan gerbang yang
sangat kokh, yang tak bisa kutembus, bahkan untuk sekedar mengintip
untuk memastikan apakah rumah tersebut masih hangat seperti waktu yang
dulu aku tinggalkan pun tak bisa.
Pasti ada yang salah.
Aku merasa sangat lelah menempuh perjalanan yang jauh dan kelam. Menderu
batin ini untuk segera kembali kerumahNya, kembali ke hangat
pelukanNya. Namun, kenapa ketika lelah menyergap dan kerinduan itu
kembali, kenapa tidak ada yang bisa mengantarkan diriku untuk kembali
kepadaNya?? Tidak Ada ! Sepi! Kosong!
Aku benci dengan
semua itu. hatiku gundah, mungkin sudah mencapai stadium sepuluh dan
sebentar lagi tiarap. Aku merasa semua yang ada di sekitarku membuatku
sesak. Gusar, marah, dendam, dengki dan semua kebusukan hati seolah
hadir bersamaan. Aku ingin memuntahkan semua itu.
Aku
menangis, bukan karna rasa haru. Tapi karena kekesalan yang memuncak.
Aku ingin segera mengakhiri semua ini. "Apa salahku Tuhan??". Aku masih
terpekur diam. Mataku terpejam mencoba menembus batas relung jiwa. Aku
masih terpaku dalam posisi duduk, kucoba membuka hati lebar-lebar untuk
menangkap kekeliruan yang ada. Memutar ulang rekam jejak perjalanan
panjangku yang melelahkan, berharap dapat menemukan sesuatu,,huft.
Mataku
tertuju kepada abjad yang berjejer di depanku, pikiranku mencoba
menembus arti harfiah dari abjad tersebut. lama kupandangi, dan terus
kupandangi, aku merasa hidupku tak jauh dari abjad-abjad tersebut.
Abjad-abjad itu apabila tidak dirangkai, maka hanya akan menjadi benda
mati yang tak lebih sebagai bahan hafalan anak play group. Seperti
itulah hidupku. Ku telusuri lorong waktu yang menjelma dalam slide
memori kenangan yang tersusun. Setiap potongan memori itu layaknya satu
abjad yang berdiri sendiri. Seiring berjalannya waktu, terjadi
metamorfosis dari setiap keping potong dalam memori hidupku. Kadang
berubah menjadi hal menyenangkan, namun tak jarang menajdi hak
menyesakkan yang menjelma dalam siluet kegetiran dan kepahitan hidup.
Kucoba menghela nafas panjang sembari memejamkan mata mencoba mengurai
benang-benang kehidupan yang semakin semrawut.
Masih pelan
aku mnyusuri lorong waktu itu. Gambarnya mulai kabur tetapi masih
menampakkan sketsa yang utuh. Kelamnya masa laluku, sosok gadis lesung
pipit itu dan kekerasan roda dunia berputar silih berganti dalam labirin
otakku.
Ini bukanlah akhir, justru ini sebuah prolog pembuka.
Semakin lama kuikuti, aku semakin tersesat dalam alur pikiran masa
laluku sendiri.
Aku terpekur, memulai perjalanan kilas
balik ini, mencoba menemukan kunci yang hilang untuk segera membuka
pintu rumah ini dan berjumpa kembali denganNya.
~ Jimbaran, 30 Juni 2012. 03.38