Sabtu, 30 Juni 2012

Prolog

Disini masih menyisakan udara dingin, ahh..sebenarnya bukan udaranya yang dingin, tapi badanku yang sedikit meriang setelah terguyur oleh panasnya matahari seharian tadi. Aku masih membenamkan kepala di depan monitor 19 inch, sambil memencet-mencet keyboard laptop didepanku. Lirik lagu Forever and One-nya Hallowen masih memantul di dalam kamar yang sebenarnya lebih mirip kamp pengungsi banjir. Jaket dan buu serta kertas pasrah berserakan di lantai. Enggan, penat dan capek. Itulah yang aku rasakan, bahkan untuk sekedar mengangkat kepala. Buku-buku karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Setia Furqon Khalid hingga Kahlil Gibran setia berjongkok di sisi tempat tidurku.

Sepi..Senyap..
Uurrghh,,aku membalikkan badan ke jendela kamar yang memberikan pemandangan dini hari yang indah. Lihatlah jutaan bintang tenggelam di angkasa bertahtakan mahkota sang rembulan. MAsih mencoba memejamkan mata sambil mencerna lagunya Sergio Mendez, Never Gonna Let You go.

Entahlah jam mangantarkan jarumnya ke arah angka berapa. Aku masih terpaku di sudut kota yang sepi ini. Masih tetap diam membisu. Sekilas nampak sajadah yang masih tergelar bekas sholat tadi. Waktu masih dan akan terus berputar, yang akan menggiringku ke dalam mesin waktu. 21 tahun lalu seorang bayi terlahir dari rahim seorang ibu yang suci. 21 tahun lalu tangis sang bayi mampu menggetarkan relung hati sang ibu, yang sayang sekali tidak ditemani sang ayah. Seiring tangis membuncah, sebuah do'a tulus terkirim ke langit agar kelak sang anak mampu menerangi dunia dengan keindahan hatinya, sebuah do'a yang hingga kini masih menggantung disendi-sendi hatiku. Aku masih terdiam, sia-sia aku mencoba menghentikan putaran alam.

Perlahan aku menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu, dingin memberkas wajahku. Sedikit segar kurasa, pori-pori kulitku menjadi terkembang. Kembali dari kamar mandi aku menyempatkan diri keluar sejenak, sekedar untuk melihat kehidupan kota ini. Masih seperti kunang-kunang, lamou yang lelah berpendar, pertanda bahwa penghuninya sedang terlelap dalam mimpi yang semoga indah.

Berdiri diatas sajadah yang sudah lama tergelar menghadap kiblat. Perlahan, walau berat aku mencoba meluruskan niat untuk menghadap padaNya. Agak ragu ketika tangan ini hendak mengangkat takbir padaNya. Rasanya seperti anak kecil yang nakal yang minggat dari rumah, dan kini karena suatu keterpaksaan akhirnya mencoba kembali ke rumah indahnya. Beribu rasa berkecamuk dalam dada yang rasanya Kyan mengkerdil. Adakah pemilik rumah akan menyambutnya dengan hangat setelah ia menafikanNya?? Akankah pemilik rumah justru mengusirnya dan kembali membiarkannya terlunta?? Namun, sang bocah tidak punya pilihan lain kecuali mencoba kembali ke rumah itu karena diluar sana tidak ada kedamaian dan ketenangan yang dapat dirsakan sebagaimana terdapat di dalam rumah itu.

Diluar sana banyak tersaji gemerlap cahaya yang hampa. Sinarnya tidak menenangkan, tapi justru membuat silau dan gelap mata. Ia rindu lampu temaram yang yang teduh yang ada di dalam rumah itu. Ia rindu nyanyian kidung hati yang mencinta. Pokoknya ira rindu utnuk kembali ke dalam rumah itu, walau menanggung rasa malu yang amat sangat. Dulu dengan pongah, ia melenggang keluar dari rumah itu dan berkacak sombong bahwa dunia di luar sanalah yang hakiki, kehidupan yang sebenarnya, Ia bosan dengan rumah yang hening dan sepi, ia bosan terkungkung dalam aturan, ia menentang semuanya. Namun lihatlah! Waktu memang hakim sejati, ia dapat membuktikan tanpa berkata, mampu menunjukkan tanpa memerintah. Waktulah yang kemudian membalikkan keadaan pad apa yang sebenarnya.

Aku masih terdiam dalam posisi sholatku, mencoba berkonsentrasi penuh agar dapat berdialog denganNya. Satu rrekaat, dua rekaat, tiga empat rekaat terlewat. Sepi. Hampa. Tidak ada yang membekas dalam hati. Apakah ini sebuah penolakan halus dari Sang Pemilik rumah?? Gerakan-gerakan sholat hanya menjadi ritual tanpa arti. Aku sedih dan kecewa. Aku mengharapkan perjumpaan yang indah, namun ternyata rasa kosong yang menyergap. Tidak ada getar yang kurasakan. Aku mencoba mengulang, mengulang dan terus mengulang dengan harapan akan muncul momentum yang indah, namun memang tak semudah itu. yang ada hanya ritual tanpa makna. Aku terdiam, makin membisu. Bingung.

Tidak seperti yang aku bayangkan dari penjelasan berbagai buku. Sang Pemilik Rumah ramah menjemput sang tamuNya yang telah lama pergi, Justru aku diam membisu seperti di depan gerbang yang sangat kokh, yang tak bisa kutembus, bahkan untuk sekedar mengintip untuk memastikan apakah rumah tersebut masih hangat seperti waktu yang dulu aku tinggalkan pun  tak bisa.

Pasti ada yang salah. Aku merasa sangat lelah menempuh perjalanan yang jauh dan kelam. Menderu batin ini untuk segera kembali kerumahNya, kembali ke hangat pelukanNya. Namun, kenapa ketika lelah menyergap dan kerinduan itu kembali, kenapa tidak ada yang bisa mengantarkan diriku untuk kembali kepadaNya?? Tidak Ada ! Sepi! Kosong!

Aku benci dengan semua itu. hatiku gundah, mungkin sudah mencapai stadium sepuluh dan sebentar lagi tiarap. Aku merasa semua yang ada di sekitarku membuatku sesak. Gusar, marah, dendam, dengki dan semua kebusukan hati seolah hadir bersamaan. Aku ingin memuntahkan semua itu.

Aku menangis, bukan karna rasa haru. Tapi karena kekesalan yang memuncak. Aku ingin segera mengakhiri semua ini. "Apa salahku Tuhan??". Aku masih terpekur diam. Mataku terpejam mencoba menembus batas relung jiwa. Aku masih terpaku dalam posisi duduk, kucoba membuka hati lebar-lebar untuk menangkap kekeliruan yang ada. Memutar ulang rekam jejak perjalanan panjangku yang melelahkan, berharap dapat menemukan sesuatu,,huft.

Mataku tertuju kepada abjad yang berjejer di depanku, pikiranku mencoba menembus arti harfiah dari abjad tersebut. lama kupandangi, dan terus kupandangi, aku merasa hidupku tak jauh dari abjad-abjad tersebut. Abjad-abjad itu apabila tidak dirangkai, maka hanya akan menjadi benda mati yang tak lebih sebagai bahan hafalan anak play group. Seperti itulah hidupku. Ku telusuri lorong waktu yang menjelma dalam slide memori kenangan yang tersusun. Setiap potongan memori itu layaknya satu abjad yang berdiri sendiri. Seiring berjalannya waktu, terjadi metamorfosis dari setiap keping potong dalam memori hidupku. Kadang berubah menjadi hal menyenangkan, namun tak jarang menajdi hak menyesakkan yang menjelma dalam siluet kegetiran dan kepahitan hidup. Kucoba menghela nafas panjang sembari memejamkan mata mencoba mengurai benang-benang kehidupan yang semakin semrawut.

Masih pelan aku mnyusuri lorong waktu itu. Gambarnya mulai kabur tetapi masih menampakkan sketsa yang utuh. Kelamnya masa laluku, sosok gadis lesung pipit itu dan kekerasan roda dunia berputar silih berganti dalam labirin otakku.
Ini bukanlah akhir, justru ini sebuah prolog pembuka. Semakin lama kuikuti, aku semakin tersesat dalam alur pikiran masa laluku sendiri.

Aku terpekur, memulai perjalanan kilas balik ini, mencoba menemukan kunci yang hilang untuk segera membuka pintu rumah ini dan berjumpa kembali denganNya.

                                                                                          ~ Jimbaran, 30 Juni 2012. 03.38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Assalamualaikum Wr Wb

Sebenernya ini adalah blog pribadi saya, tapi kalau saudara pengen berkomentar untuk hal yang lebih baik dan membangun,,silakan saja!!!
Asal sopan dan beretika ya...

UPS,,JANGAN COBA-COBA DIBIKIN FILM KAYAK KAMBING JANTAN YACH...hehehe